Jakarta - Film ketiga dari franchise 'The Chronicles of Narnia' ini terasa lebih menyenangkan. Berbeda dengan dua film sebelumnya, film 'The Chronicles of Narnia:The Voyage of the Dawn Treader' diarahkan oleh sutradara Michael Apted dan sinematografer Dante Spinotti di bawah Studio Fox. Mengikuti kecenderungan film-film Hollywood akhir-akhir ini, film ini pun menggunakan teknologi 3D (tiga dimensi) untuk mengemas petualangan bersaudara Lucy dan Edmund, serta sepupu mereka yang sedikit jahat, Eustace.
Meneruskan cerita yang diadaptasi dari buku CS Lewis dengan judul yang sama yang ditulis pada 1950, Lucy dan Edmund Pevensie kembali ke Narnia bersama sepupu mereka, Eustace Scrubb dan bertemu Prince Caspian dalam sebuah perjalanan dengan kapal kerajaan, The Dawn Treader. Prince Caspian berusaha mencari tujuh lord dari Telmar yang disingkirkan setelah Miraz mengambil alih kekuasaan. Dalam perjalanan panjang dan berbahaya ini Prince Caspian, Lucy, Edmund dan awak kapal The Dawn Treader menghadapi banyak tantangan dan ancaman dari berbagai pihak hingga berakhirnya perjalanan mereka di Negeri Aslan.
Dibandingkan film-film sejenis, film Narnia ini bisa dibilang memiliki cerita yang tidak terlalu istimewa, bahkan bisa dibilang terlalu membosankan. Namun, dalam seri ketiga petualangan Pevensie bersaudara ini, sang sutradara berhasil mengatasi skenario yang biasa itu menjadi tontonan penuh petualangan dan gambar-gambar yang indah. Penggunaan teknologi 3D dimanfaatkan dengan sangat maksimal, terutama dalam adegan-adegan perkelahian. Pemilihan lokasi sangat cocok dengan tuntutan film 'The Narnia' sebagai sebuah dongeng-petualangan.
Skenario yang bertumpu pada peristiwa-peristiwa tertentu membuat penonton yang tertidur bisa bangun kembali dan mendapatkan sensasi tontonan, sebut misalnya, saat sang naga harus berhadapan dengan raksasa laut yang mengerikan yang menyerang kapal The Dawn Treader. Manipulasi teknologi, macam animasi 3D, juga menambah nilai plus film yang banyak menampilkan karakter-karakter makluk yang cukup gaib.
Tapi, karakter terkuat dalam film ini justru bukan datang dari para protagonis, melainkan dari sosok Eustace yang mulanya sangat menyebalkan dan jahat namun kemudian menjadi seorang anak yang cukup jujur dan baik. Perubahan karakter inilah yang agaknya menjadi salah satu pesan moral film yang tak jauh dari ide-ide Kristen penulis CS Lewis. Seperti ucapan Lucy, "Kita tidak memiliki apapun kecuali kita percaya" (We have nothing if we don’t believe). Film ini pada akhirnya tetap menjadi sebuah tontonan yang menghibur yang sepertinya akan mendorong produksi film ‘The Chronicles of Narnia’ selanjutnya.
Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.
Meneruskan cerita yang diadaptasi dari buku CS Lewis dengan judul yang sama yang ditulis pada 1950, Lucy dan Edmund Pevensie kembali ke Narnia bersama sepupu mereka, Eustace Scrubb dan bertemu Prince Caspian dalam sebuah perjalanan dengan kapal kerajaan, The Dawn Treader. Prince Caspian berusaha mencari tujuh lord dari Telmar yang disingkirkan setelah Miraz mengambil alih kekuasaan. Dalam perjalanan panjang dan berbahaya ini Prince Caspian, Lucy, Edmund dan awak kapal The Dawn Treader menghadapi banyak tantangan dan ancaman dari berbagai pihak hingga berakhirnya perjalanan mereka di Negeri Aslan.
Dibandingkan film-film sejenis, film Narnia ini bisa dibilang memiliki cerita yang tidak terlalu istimewa, bahkan bisa dibilang terlalu membosankan. Namun, dalam seri ketiga petualangan Pevensie bersaudara ini, sang sutradara berhasil mengatasi skenario yang biasa itu menjadi tontonan penuh petualangan dan gambar-gambar yang indah. Penggunaan teknologi 3D dimanfaatkan dengan sangat maksimal, terutama dalam adegan-adegan perkelahian. Pemilihan lokasi sangat cocok dengan tuntutan film 'The Narnia' sebagai sebuah dongeng-petualangan.
Skenario yang bertumpu pada peristiwa-peristiwa tertentu membuat penonton yang tertidur bisa bangun kembali dan mendapatkan sensasi tontonan, sebut misalnya, saat sang naga harus berhadapan dengan raksasa laut yang mengerikan yang menyerang kapal The Dawn Treader. Manipulasi teknologi, macam animasi 3D, juga menambah nilai plus film yang banyak menampilkan karakter-karakter makluk yang cukup gaib.
Tapi, karakter terkuat dalam film ini justru bukan datang dari para protagonis, melainkan dari sosok Eustace yang mulanya sangat menyebalkan dan jahat namun kemudian menjadi seorang anak yang cukup jujur dan baik. Perubahan karakter inilah yang agaknya menjadi salah satu pesan moral film yang tak jauh dari ide-ide Kristen penulis CS Lewis. Seperti ucapan Lucy, "Kita tidak memiliki apapun kecuali kita percaya" (We have nothing if we don’t believe). Film ini pada akhirnya tetap menjadi sebuah tontonan yang menghibur yang sepertinya akan mendorong produksi film ‘The Chronicles of Narnia’ selanjutnya.
Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar